MENYIKAPI PERBEDAAN DALAM FURU’IYAH*)
(Sebuah Telaah Perbedaan Pendapat Ulama 4 Madzhab Tentang Masalah Wudlu’)
By: AKHMAD FAUZI, S.HI **)
A. Iftitah
Fiqih merupakan salah satu khazanah intelektual islam yang diakui paling banyak mempengaruhi pola fikir dan prilaku masyarakat islam sehingga dalam kenyataan masyarakat awam kadang-kadang sangat sulit dibedakan antara budaya yang terbentuk dari fiqih dan fiqih yang dimasukkan dalam nilai-nilai suatu budaya lokal.
Fiqih didefinisikan الفقه هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصيلية (hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci). Kalau definisi ini diurai, maka dapat dipertajam isinya; yaitu (a) Fiqih itu adalah ilmu hasil garapan manusia (ilmu muktasab) oleh karena itu peran ra’yi (nalar) mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu; (b) Fiqih itu obyek garapannya adalah al-Ahkamul ‘Amaliyah. Ia berkaitan dengan penataan perbuatan manusia yang bersifat positif dan riil serta tidak bersifat teoritis seperti halnya ilmu kalam/aqidah; (c) Sumber pokok fiqih itu adalah wahyu dalam bentuknya yang rinci, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Dengan demikian, istinbat hukum dalam fiqih dihasilkan dari hasil pemikiran manusia (ulama mujtahid) melalui proses ijtihad dengan cara mengoptimalkan potensi intelektualnya daalam menggali hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan Hadits) yang tidak dikemukakan atau dikemukakan dengan tidak jelas (dzanni) yang memungkinkan terjadinya multi interpretasi. Oleh karena itu, perbedaan sudut pandang masing-masing ulama mujtahid dalam menafsirkan, menggali nash-nash dzonni (istidlal al-ahkam) dalam al-Qur’an dan Hadits dan pengaruh sosiokulturalnya maka istinbat (produk) hukum yang dihasilkan menyebabkan perbedaan pula. Namun demikian, perbedaan produk hukum yang dihasilkan mereka sama-sama mendapatkan legalitas kebenaran sebagaimana yang disabdakan beliau bahwa suatu ketetapan hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad, apabila pada hakikatnya benar menurut Allah maka medapatkan dua pahala dan apabila salah maka satu pahala baginya. Dengan demikian kebenaran dalam fiqih seharusnya disikapi sebagai kebenaran relatif bukan kebenaran absolut/mutlak karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata.
Sebagai contoh istinbat hukum dalam fiqih adalah kewajiban shalat dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan amar اقيموا الصلاة tanpa disertai dengan tata cara secara gamblang. Maka Rasulullah memberikan petunjuk melalui sabdanya صلوا كما رئيتمواني اصلى (shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat). Dari praktek nabi itulah kemudian dirumuskan kaifiyah shalat oleh para shahabat, tabi’in dan fuqaha’ dengan segala syarat, rukun dan batalnya.
Melalui contoh tersebut, kita dapat membedakan antara hukum yang dihasilkan dari nash qath’i atau yang biasa dinamakan syariah dan hukum yang dihasilkan dari nash yang dzanny (fiqh) walaupun sebenarnya antara keduanya sangat erat hubungannya, karena fiqih merupakan formula yang difahami dari syariah sedangkan syariah tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna tanpa pemahaman yang mendalam melalui fiqih.
Berdasarkan hal tersebut, minimal ada 6 perbedaan konsep antara syariah dengan fiqih yang harus difahami agar tidak terjadi pemahaman keliru yang pada akhirnya menyebabkan fanatisme buta terhadap hukum islam yang beragam. Enam perbedaan tersebut adalah: (1) dilihat dari subyeknya, syariah ditetapkan oleh syari’ sedangkan fiqih ditetapkan oleh manusia (mujtahid atau fuqaha’); (2) syariah menempati kualitas wahyu, sedangkan fiqih berkualitas ijtihady; (3) syariah memiliki tingkat kebenaran absolut dan universal sedangkan fiqih memiliki kebenaran relatif; (4) syariah bersifat universal sedangkan bersifat temporal dan lokal (dipengaruhi perubahan dimensi ruang dan waktu); (5) syariah hanya satu sedangkan fiqih lebih dari satu, seperti terlihat dalam aliran-aliran hukum madzhab; (6) syariah menunjukkan kesatuan dalam islam sedangkan fiqih menunjukkan keberagamannya.
Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewacanakan panjang lebar tentang pengembangan fiqih formatif yang tidak akomodatif terhadap perubahan yang akan berakibat berubahnya hukum, tetapi minimal untuk memberikan legitimasi, baik filosofis maupun ilmiyah sehingga hukum tersebut menjadi bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dijelaskan sebagian dari pruduk fiqih tentang masalah wudlu’ yang berkaitan dengan pengertiannya, hukum, syarat wajib dan sahnya, fardlu/rukunnya, dan yang membatalkannya menurut 4 aliran madzhab sunny terkenal yaitu: al Imam Abu Hanifah an-Nu’man Bin Tsabit al-Kufi (Hanafiyah), Imam Malik Bin Anas al-Ashbahi (Malikiyah), al-Imam Muhammad Bin Idris asy-Syafi’i (Syafi’iyah), al-Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal al-Syaibany (Hanabilah).