(Sebuah Telaah Perbedaan Pendapat Ulama 4 Madzhab Tentang Masalah Wudlu’)
By: AKHMAD FAUZI, S.HI **)
A. Iftitah
Fiqih merupakan salah satu khazanah intelektual islam yang diakui paling banyak mempengaruhi pola fikir dan prilaku masyarakat islam sehingga dalam kenyataan masyarakat awam kadang-kadang sangat sulit dibedakan antara budaya yang terbentuk dari fiqih dan fiqih yang dimasukkan dalam nilai-nilai suatu budaya lokal.
Fiqih didefinisikan الفقه هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصيلية (hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci). Kalau definisi ini diurai, maka dapat dipertajam isinya; yaitu (a) Fiqih itu adalah ilmu hasil garapan manusia (ilmu muktasab) oleh karena itu peran ra’yi (nalar) mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu; (b) Fiqih itu obyek garapannya adalah al-Ahkamul ‘Amaliyah. Ia berkaitan dengan penataan perbuatan manusia yang bersifat positif dan riil serta tidak bersifat teoritis seperti halnya ilmu kalam/aqidah; (c) Sumber pokok fiqih itu adalah wahyu dalam bentuknya yang rinci, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Dengan demikian, istinbat hukum dalam fiqih dihasilkan dari hasil pemikiran manusia (ulama mujtahid) melalui proses ijtihad dengan cara mengoptimalkan potensi intelektualnya daalam menggali hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan Hadits) yang tidak dikemukakan atau dikemukakan dengan tidak jelas (dzanni) yang memungkinkan terjadinya multi interpretasi. Oleh karena itu, perbedaan sudut pandang masing-masing ulama mujtahid dalam menafsirkan, menggali nash-nash dzonni (istidlal al-ahkam) dalam al-Qur’an dan Hadits dan pengaruh sosiokulturalnya maka istinbat (produk) hukum yang dihasilkan menyebabkan perbedaan pula. Namun demikian, perbedaan produk hukum yang dihasilkan mereka sama-sama mendapatkan legalitas kebenaran sebagaimana yang disabdakan beliau bahwa suatu ketetapan hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad, apabila pada hakikatnya benar menurut Allah maka medapatkan dua pahala dan apabila salah maka satu pahala baginya. Dengan demikian kebenaran dalam fiqih seharusnya disikapi sebagai kebenaran relatif bukan kebenaran absolut/mutlak karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata.
Sebagai contoh istinbat hukum dalam fiqih adalah kewajiban shalat dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan amar اقيموا الصلاة tanpa disertai dengan tata cara secara gamblang. Maka Rasulullah memberikan petunjuk melalui sabdanya صلوا كما رئيتمواني اصلى (shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat). Dari praktek nabi itulah kemudian dirumuskan kaifiyah shalat oleh para shahabat, tabi’in dan fuqaha’ dengan segala syarat, rukun dan batalnya.
Melalui contoh tersebut, kita dapat membedakan antara hukum yang dihasilkan dari nash qath’i atau yang biasa dinamakan syariah dan hukum yang dihasilkan dari nash yang dzanny (fiqh) walaupun sebenarnya antara keduanya sangat erat hubungannya, karena fiqih merupakan formula yang difahami dari syariah sedangkan syariah tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna tanpa pemahaman yang mendalam melalui fiqih.
Berdasarkan hal tersebut, minimal ada 6 perbedaan konsep antara syariah dengan fiqih yang harus difahami agar tidak terjadi pemahaman keliru yang pada akhirnya menyebabkan fanatisme buta terhadap hukum islam yang beragam. Enam perbedaan tersebut adalah: (1) dilihat dari subyeknya, syariah ditetapkan oleh syari’ sedangkan fiqih ditetapkan oleh manusia (mujtahid atau fuqaha’); (2) syariah menempati kualitas wahyu, sedangkan fiqih berkualitas ijtihady; (3) syariah memiliki tingkat kebenaran absolut dan universal sedangkan fiqih memiliki kebenaran relatif; (4) syariah bersifat universal sedangkan bersifat temporal dan lokal (dipengaruhi perubahan dimensi ruang dan waktu); (5) syariah hanya satu sedangkan fiqih lebih dari satu, seperti terlihat dalam aliran-aliran hukum madzhab; (6) syariah menunjukkan kesatuan dalam islam sedangkan fiqih menunjukkan keberagamannya.
Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewacanakan panjang lebar tentang pengembangan fiqih formatif yang tidak akomodatif terhadap perubahan yang akan berakibat berubahnya hukum, tetapi minimal untuk memberikan legitimasi, baik filosofis maupun ilmiyah sehingga hukum tersebut menjadi bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dijelaskan sebagian dari pruduk fiqih tentang masalah wudlu’ yang berkaitan dengan pengertiannya, hukum, syarat wajib dan sahnya, fardlu/rukunnya, dan yang membatalkannya menurut 4 aliran madzhab sunny terkenal yaitu: al Imam Abu Hanifah an-Nu’man Bin Tsabit al-Kufi (Hanafiyah), Imam Malik Bin Anas al-Ashbahi (Malikiyah), al-Imam Muhammad Bin Idris asy-Syafi’i (Syafi’iyah), al-Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal al-Syaibany (Hanabilah).
B. Pengertian Wudlu’
Arti الوضوء secara bahasa adalah الحسن (baik) dan النظافة (bersih). Sedangkan menurut istilah syara’ wudlu’ adalah menggunakan air pada anggota khusus, yaitu wajah, tangan dan seterusnya dengan cara yang tertentu pula.
C. Hukum Wudlu’ Dan Yang Berkaitan Dengannya.
Wudlu’ adalah kewajiban yang harus dilakukan untuk melaksanakan pekerjaan wajib dan sunnah seperti sahlat, sujud syukur dan tilawah, dan thawaf menurut sebagian imam (menurut Hanafiyah, suci bukan termasuk sahnya thawaf tetapi wajib dalam thawaf), termasuk juga memegang mushaf al-Qur’an baik keseluruhan maupun sebagian. Namun dalam memegang/membawa al-Qur’an ini terdapat beberapa syarat berbeda yang dikemukakan oleh beberapa madzhab:
- Malikiyah berpendapat bahwa ada beberapa syarat agar boleh memegang mushhaf tanpa wudlu’: (1) mushhaf tersebut tertulis dengan selain bahasa arab; (2) mushaf tersebut tertulis di atas uang yang biasa dipakai orang untuk muamalah; (3) membawanya/menyentuh untuk dijaga dengan syarat: yang membawa seorang muslim dan mushafnya tertutup yang dapat mencegah tersentuhnya barang kotor; (4) pembawanya adalah seorang muallim (pengajar) atau muta’allim (pelajar)
- Hanabilah berpendapat bahwa untuk membawa atau menyentuh mushaf tanpa wudlu’ disyaratkan agar mushhaf tersebut berada dalam bungkus yang terpisah dari mushaf itu wakaupun bungkus itu melekat padanya.
- Hanafiyah berpendapat bahwa ada beberapa syarat agar boleh memegang mushhaf tanpa wudlu’: (1) dalam keadaan darurat; (2) mushaf tersebut berada dalam bungkusan yang terpisah dengannya; (3) yang memegang seorang yang belum baligh untuk belajar; (4) yang memegang adalah seorang muslim.
- Syafi’iyah berpendapat bahwa ada beberapa syarat agar boleh memegang mushhaf tanpa wudlu’: (1) membawa demi untuk menjaganya; (2) tertulis di atas uang; (3) sebagian ayat yang ditulis dalam buku keilmuan sebagai kutipan. Sedangkan tafsir al-Quran, apabila tafsirnya lebih banyak maka boleh meyentuhnya tanpa wudlu’; (4) tertulis di atas kain atau lainnya sebagai hiasan bukan untuk tujuan dirosah; (5) menyentuh untuk mempelajarinya.
D. Syarat-Syarat Wudlu’
Syarat-syarat wudlu’ dibagi menjadi 3 bagian:
(1) syarat wajibnya wudlu’; (2) syarat sahnya wudlu’; (3) syarat wajib dan sahnya sekaligus
Adapun syarat wajib wudlu’ saja, antara lain: (a) baligh, tetapi wudlu’ orang yang belum baligh sah hukumnya; (b) masuk waktu shalat, tetapi wudlu’ yang dilakukan sebelum masuk waktu shalat sah kecuali bagi orang yang mendapat aral (udzur) seperti penyakit sering kencing menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah dan Hanafiyah wudlu’ orang yang dalam keadaan udzur tetap sah walaupun dilakukan sebelum masuk waktu shalat; (c) bukan orang yang mempunyai wudlu’; (d) mampu melaksanakan wudlu’ sebagaimana mestinya.
Adapun syarat sahnya wudlu’ saja, antara lain: (a) air yang digunakan suci dan menyucikan; (b) mumayyis; (c) tidak terdapat penghalang yang dapat menghalangi sampainya air ke anggota wudlu’; (d) tidak terdapat sesuatu yang dapat menafikan wudlu pada waktu berwudlu’ seperti hadats dan sebagainya.
Adapun syarat wajib dan sahnya wudlu sekaligus, antara lain: (a) Aqil; (b) sucinya perempuan dari darah haidl dan nifas; (c) tidak tidur dan lupa; (d) islam, tetapi menurut Malikiyah islam itu hanya syarat sahnya wudlu’ saja karena menurut mereka orang kafir juga diperintahkan untuk melaksanakan cabang-cabang syariah sedangkan menurut Hanafiyah islam menjadi syarat wajibnya saja (kebalikan dari Malikiyah) tetapi mereka juga tidak menganggap islam itu syarat sahnya wudlu’ karena wudlu tidak tergantung kepada niat; (e) sampainya dakwah (seruan) nabi Muhammad, tetapi menurut Hanafiyah sampainya dakwah bukanlah syarat sahnya wudlu’.
Syafi’iyah menambahkan 3 hal dari apa yang telah disebutkan dalam syarat sahnya wudlu’, yaitu: (a) orang yang berwudlu’ mengetahui cara berwudlu’; (b) dapat membedakan antara yang fardhu dan bukan fardhu; (c) berniat mulai awal berwudlu’ dan niatnya terus berlangsung hingga selesai.
Hanabilah juga menambahkan 3 hal dalam syarat sahnya wudlu’ saja, yaitu: (a) air yang dipergunakan halal dipakai; (b) berniat untuk berwudlu’ karena menurut mereka niat bukan fardhu wudlu’ sedangkan menurut Hanafiyah niat menurut mereka sunnah; (c) wudlu’ hendaknya didahului dengan istijmar atau istinja’.
E. Fardlu/Rukun Wudlu’
Di dalam al-Qur’an Allah menetapkan rukun-rukun wudlu’ menjadi empat, yaitu (1) membasuh muka; (2) membasuh kedua tangan sampai kedua siku; (3) meyapu kepala; (4) membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, sebagaimana firman-Nya: ياايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا برءوسكم وارجلكم الى الكعبين (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan {basuhlah} kakimu sampai kedua mata kaki. QS. 5:6)
Berdasarkan ayat tersebut, para ulama madzhab tidak ada yang berbeda pendapat dalam 4 hal tersebut kecuali dalam cara meyapu kepala, ada yang berpendapat disapu semuanya, dan diantara yang lain berkata bahwa ia disapu sebagian. Namun dari 4 rukun yang disebutkan tersebut, diantara Imam madzhab ada yang menambah rukun lagi. Hanafiyah tidak menambahkan sesuatu apapun dari rukun yang 4, berbeda dengan imam-imam yang tiga lainnya.Berikut ini akan disebutkan beberapa khilafiyah dalam rukun wudlu’ dan tata cara pelaksanaannya menurut 4 madzhab tersebut secara ringkas.
1. Batas wajah
Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa batas wajah itu dimulai dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut hingga batas ujung dagu bagi orang yang tidak mempunyai jenggot dan sampai ujung rambut jenggot bagi orang yang berjenggot sekalipun panjang. Hanya saja Syafi’iyah berpendapat bahwa yang terdapat di bawah dagu itu termasuk wajah yang wajib dibasuh (apabila terdapat jenggot yang tidak lebat, apabila lebat maka cukup membasuh bagian luarnya saja). Sedangkan Hanafiyah berpendapat batas wajah adalah mulai tempat yang biasanya ditumbuhi rambut sampai akhir ujung dagu. Jadi bagi orang yang mempunya jenggot terulur dari kulit dagunya maka jenggot tersebut tidak wajib dibasuh. Hanafiyah sepakat dengan Malikiyah dan Hanabilah bahwa bagian yang terdapat di bawah dagu tidak wajib dibasuh.
Syafi’iyah dan Hanafiyah sepakat bahwa kulit putih (kulit yang tidak ditumbuhi rambut) yang terdapat di antara dua pasak (pangkal) telinga yang bersambung dengan kepada dari bagian atas adalah termasuk bagian dari wajah, oleh karenanya ia wajib dibasuh. Berbeda halnya dengan Malikiyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa kulit putih tersebut termasuk bagian dari kepala, maka ia wajib diusap bukan dibasuh.
Para Imam madzhab sepakat bahwa apabila bulu janggut itu tipis di mana kulit wajah yang ada di bawahnya kelihatan, maka ia wajib disela-sela agar supaya air dapat sampai pada kulit muka. Dan jika bulu janggutnya itu lebat, maka ia wajib membasuh bagian luarnya saja dan tidak wajib menyela-nyela melainkan hanya disunnahkan saja. Hanya saja Malikiyah berpendapat bahwa jika janggut itu lebat, maka walau ia tidak wajib menyela-nyelanya akan tetapi wajib menggerak-gerakkannya dengan tangan agar air dapat masuk ke dalam celah-celah janggut sekalipun tidak sampai pada kulit.
Ketiga Imam madzhab selain Hambali sepakat bahwa, kedua telinga tidak termasuk bagian dari kepala. Hanabilah menyangkal hal tersebut bahwa telinga termasuk bagian dari kepala, oleh karenanya ia wajib diusap dengan air.
2. Mengusap Kepala
Hanabilah dan Malikiyah sepakat bahwa mengusap seluruh kepala adalah wajib. Sedangkan Hanafiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa yang wajib itu adalah mengusap sebagian dari kepala, sedangkan mengusap seluruhnya itu sunnah. Namun di antara Syafi’iyah dan Hanafiyah berbeda di dalam kewajiban mengusap sebagian. Menurut Syafi’iyah mengusap sebagian kepala walaupun sedikit. Sedangkan menurut Hanafiyah ukuran sebagian yang dimaksudkan adalah seperempat kepala atau sebesar ukuran telapak tangan.
3. Tertib Rukun
Malikiyah dan Hanafiyah sepakat bahwa mengurutkan antara anggota wudlu’ bukanlah wajib melainkan sunnah. Berbeda halnya dengan Syafi’iyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa mengurutkan (tertib) dalam rukun sebagaimana urutan ayat al-Qur’an adalah wajib.
4. Niat
Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa niat itu wajib akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal waktunya. Malikiyah berpendapat bahwa niat itu sah dilakukan sebelum melaksanakan wudlu’ dengan tenggang waktu yang tidak lama menurut kebiasaan. Sedangkan Syafi’iyah berpendapat bahwa niat itu harus dilakukan pada saat mulai membasuh wajah. Demikian pula Hanabilah menganggap niat itu merupakan syarat wudhu’ bukan rukun. Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa niat itu hukumnya sunnah.
5. Segera
Syafi’iyah sepakat dengan Hanafiyah bahwa faur (membasuh anggota wudlu’ sebelum anggota wudlu’ yang sebelumnya kering) adalah sunnah, bukan wajib. Sedangkan Malikiyah dan Hanabilah sepakat bahwa faur itu hukumnya wajib.
Jadi secara ringkas, rukun-rukun wudlu’ menurut 4 madzhab adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah, rukun wudlu’ ada empat sebagaimana yang tercantum dalam ayat al-Qur’an, yaitu (1) membasuh muka; (2) membasuh kedua tangan sampai siku; (3) mengusap seperempat dari kepala; (4) membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Selain itu hukumnya sunnah.
Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudlu’ ada tujuh, yaitu: (1) Niat; (2) membasuh muka; (3) membasuh kedua tangan sampai dua siku; (4) mengusap semua bagian kepala; (5) membasuh dua kaki sampai mata kaki; (6) faur (segera); (7) menggosok anggota wudlu’ dengan tangan.
Menurut Syafi’iyah, rukun wudlu’ ada 6 seperti yang biasa kita lakukan yaitu: (1) Niat; (2) membasuh muka; (3) membasuh kedua tangan sampai dua siku; (4) mengusap sebagian dari kepala; (5) membasuh dua kaki sampai mata kaki; (6) tertib (berurutan).
Sedangkan rukun wudlu’ menurut pendapat Hanabilah ada 6, yaitu: (1) membasuh muka termassuk juga hidung dan mulut; (2) membasuh kedua tangan sampai siku; (3) mengusap semua kepala termasuk telinga; (4) membasuh kedua kaki sampai mata kaki; (5) tertib (berurutan); (6) muwalat (menyegerakan).
F. Hal-Hal Yang Membatalkan Wudlu’
Hal-hal yang membatalkan wudlu’ terdapat empat bagian, yaitu:
1. Sesuatu yang biasa keluar dari salah satu dua jalan (kubul dan dubur) yaitu: kencing, tahi, angin (kentut), madzi dan wadi. Sedangkan keluar mani ada perbedaan pendapat, menurut Malikiyah air mani yang biasa keluar tampa rasa nikmat dapat membatalkan wudlu’ dan tidak mewajibkan mandi. Sedangkan menurut Syafi’iyah keluar mani dengan rasa nikmat ataupun tidak tidak membatalkan wudlu’ tetapi mewajibkan mandi. Dan keluar sesuatu dengan cara yang tidak biasa seperti batu kerikil, ulat, darah, air nanah, dan sebagainya juga membatalkan wudlu’ kecuali menurut Malikiyah yang berpendapat bahwa keluar barang tersebut tidaklah membatalkan wudlu’ kecuali disebabkan karena sesuatu yang biasa keluar dari tempat keluarnya yang biasa pula dalam keadaan sehat. Jadi menurut mereka barang-barang tersebut memang berasal dari dalam perut bukan karena menelannya. Sedangkan keluarnya sesuatu selain dari dua jalan seperti darah menurut pendapat Hanabilah dapat membatalkan wudlu’ apabila banyak menurut urf (kebiasaan).
2. Hilang akal, baik disebabkan gila, ayan, pingsan, tidur, atau melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan akal. tetapi dalam masalah tidur terdapat perbedaan pendapat di antara 4 madzhab.
Hanafiyah berpendapat bahwa tidur itu sendiri sebenarnya tidak membatalkan wudlu’ berbeda dengan pendapat Hanabilah dan Syafi’iyah, kecuali dalam tiga hal, yaitu: tidur dengan berbaring miring, tidur terlentang di atas punggungnya, tidur diantara salah satu pangkal pahanya. Karena menurut mereka dalam keadaan demikian ia mudah kentut. Adapun yang dijadikan dalil bahwa tidur tidak dapat membatalkan wudlu’ kecuali bila dalam keadaan berbaring adalah sabda Rasulullah: ان الوضوء لا يجب على من نام مضطجعا فانه اذا اضطجع استرخت مفاصله (رواه ابو داود والترمذي) illat hukum dari hal tersebut menurut mereka adalah mudah kentut. Jadi pada hakikatnya tidur tidaklah membatalkan wudlu’ kecuali dalam keadaan tersebut.
Syafi’iyah berpendapat bahwa tidur itu dapat membatalkan wudlu’ apabila tidak duduk mantap di atas tempatnya.
Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa tidur itu membatalkan wudlu’ dengan keadaan yang bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya sebentar menurut ukuran urf sedangkan orang itu tidur dalam keadaan duduk atau berdiri.
Malikiyah berpendapat bahwa tidur dapat membatalkan wudlu’apabila tidurnya nyenyak, baik sebentar (apabila orang yang tidur dengan menutup tempat keluarnya kentut) ataupun lama, baik dalam keadaan duduk, berbaring ataupun sujud. Dalam tidur yang tidak nyenyak sekiranya dapat mendengar suara, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah sepakat hal tersebut tidak membatalkan wudlu’.
3. Menyentuh sesorang yang dapat mengundang syahwat, baik ia wanita atau laki-laki muda tampan (amrad). Pada fuqaha’ menggunakan istilah اللمس untuk menyentuh dengan tangan dan bagian anggota badan lainnya dan المس khusu untuk menyentuh dengan tangan yang masing-masing mempunyai ketentuan hokum tersendiri.Syafi’iyah dan Hanabilah menggunakan istilah yang sama anatar المس dan اللمس.
Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram dapat membatalkan wudlu’ secara mutlak walaupun tanpa rasa nikmat, sekalipun orang yang sudah tua dan tidak menarik (berwajah jelek) dengan tanpa penghalang bahkan menyentuh mayat wanita sekalipun. Seorang laki-laki menyentuh sejenisnya juga tidak membatalkan wudlu’ walau anak muda yang tampan (amrad) tetapi disunnahkan untuk berwudlu’. Mereka mengecualikan menyentuh rambut, kuku, gigi tidaklah membatalkan wudlu’ walau menyentuhnya bersyahwat. Juga tidak membatalkan wudlu’ menurut Syafi’iyah menyentuh wanita yang mahram dengannya.
Hanabilah berpendapat bahwa wudlu’ itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara mahram dan bukan mahram, hidup atau mati, muda atau tua, besar atau kecil yang biasanya dapat menundang syahwat. Sedangkan orang yang disentuh wudlu’nya tidak batal walau ia merasakan nikmat. Hanabilah sepakat dengan Syafi’iyah bahwa menyentuh rambut, kuku dan gigi tidak membatalkan wudlu’.
Malikiyah berpendapat bahwa menyentuh dengan tangan atau sebagian anggota badan lainnya maka dapat membatalkan wudlu’ dengan beberapa syarat: bagi yang menyentuh disyaratkan ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakannya tanpa sengaja. Bagi yang disentuh hendaknya dalam keadaan tanpa penghalang atau terhalang dengan penghalang yang tipis dan yang disentuh adalah orang yang biasanya mengundang syahwat. Maka menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang syahwat atau wanita tua yang sudah tidak menarik lagi tidak membatalkan wudlu’. Termasuk membatalkan wudlu’ menurut mereka menyentuh rambut bila dengan maksud memperoleh kenikmatan atau memperoleh kenikmatan dengan tampa sengaja. Tetapi apabila wanita menyentuh tangan laki-laki dengan rambutnya maka wudlu’ wanita itu tidak batal. Demikian juga tidak batal persentuhan rambut dengan rambut, gigi dengan gigi, kuku dengan kuku. Pokok persoalan dalam hal menyentuh menurut mereka adalah adanya maksud merasakan nikmat. Jadi tidak ada perbedaan apakah yang disentuh itu bukan mahram atau laki-laki muda yang tampan (amrad). Tetapi apabila wanita yang disentuh mahram maka dapat membatalkan wudlu’ apabila menyetuhnya merasakah nikmat.
Sedangkan pihak yang disentuh, maka apabila ia seorang yang baligh dan meraasakah nikmat maka wudlu’nya batal. Bila ia bermaksud untuk merasakan nikmat maka baginya berlaku hukum seperti yang disebutkan di atas.
Menurut Hanafiyah menyentuh anggota badan yang manapun tidak membatalkan wudlu’ walaupun yang menyentuh dan yang disentuh dalam keadaan telanjang, kecuali dalam dua hal: (a) dari mereka keluar sesuatu dalam bentuk madzi dan lainnya; (b) laki-laki itu meletakkan kemaluannya di atas kemaluan wanita. Hal itu dapat membatalkan wudlu’ laki-laki apabila dzakar laki-laki itu tegang, tidak ada pengahalang yang menghalangi panasnya badan. Sedangkan wudlu’ wanita dapat batal dengan sekedar berdempetan bila dzakar laki-laki itu tegang atau wanita sama wanita berdempetan dengan cara yang demikian pula dan dalam keadaan telanjang juga membatalkan wudlu’ kedua wanita tersebut. Tetapi bagi lagi-laki dengan laki-laki dalam keadaan yang demikian tidak membatalkan wudlu kecuali dzakar orang yang menyentuh tegak.
4. Menyentuh dzakar/qubul dengan tangan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama tentang batal tidaknya dan dzakar sendiri atau dzakar orang lain. Perbedaan tersebut timbul dari beberapa hadits Rasulullah yang berbeda dalam masalah tersebut. Yang menyatakan tidak batal berdasarkan Hadits هل هو الا بضعة منك (ia (dzakar itu) tidak lain hanyalah sepotong daging dari badanmu). Adapun yang menyatakan batal berdasarkan Hadits من مس ذكره فليتوضأ (barang siapa memegang dzakarnya maka hendaklah ia berwudlu’). Para imam madzhab yang 3 bersepakat bahwa memegang dzakar membatalkan wudlu’ selain Hanafiyah. Rincian pendapat tersebut sebagai berikut.
Hanafiyah berpendapat bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudlu’ sekalipun dengan syahwat dan menggunakan telapak tangan atau bagian anggota badan lainnya berdasarkan hadits tersebut di atas. Sebagian dari Hanafiyah mengartikan المس pada hadits yang membatalkan tersebut dengan pengertian wudlu’ secara bahasa, yaitu kesunnahan membasuh kedua tangan ketika hendak melaksanakan shalat. Begitu pula wudlu’nya tidak batal dengan menyentuh sebagian anggota badan yang mana saja.
Malikiyah berpendapat menyentuh dzakar membatalkan wudlu’ baik dengan merasakan nikmat atau tidak dengan beberapa syarat berikut: (a) menyentuh dzakarnya sendiri, kalau menyentuh dzakar orang lain termasuk dalam pembahasan poin 3 di atas.; (b) baligh; (c) tampa penghalang; (d) menggunakan telapak tangan tangan atau bagian tepinya atau bagain dalam jemari atau bagian tepi jemari atau ujung jemari tangan.
Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh dzakar membatalkan wudlu’ baik dzakarnya sendiri atau orang lain, baik dzakar anak-anak atau mayat dengan syarat: (a) tidak ada penghalang; (b) menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam.
Hanabilah berpendapat sebagaimana Syafi’iyah tidak mengkhususkan dzakar sendiri atau dzakar orang lain sama-sama membatalkan wudlu’.
Demikianlah hal-hal yang terkait dengan masalah wudlu’ menurut 4 madzhab yang kami uraikan secara ringkas. Namun demikian, sekian banyak perbedaan pendapat yang diuraikan di atas tersebut hanya merupakan garis besarnya saja yang memungkinkan terjadinya suatu perbedaan pendapat yang tidak terurai secara lengkap dari sekian banyak imam-imam dari pendukung masing-masing madzhab (bisa dilihat di kitab-kitab fiqih). Suatu contoh pendapat Imam Haramain dan dan Imam Furani dari golongan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa persentuhan kulit tidak menyebabkan batalnya wudlu’ apabila tidak disengaja (Al-Bahjah,1:137-138), juga ada pendapat Syafi’iyah bahwa yang batal adalah orang yang menyentuh bukan yang disentuh (Hamisy Al-Idhoh: 144) dan sebagainya.
G. Ikhtitam
Dari apa yang diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa dalam masalah furu’iyah perbedaan pendapat tidak bisa dihindari bahkan suatu hal yang harus dipelihara sebagai khazanah hukum islam bukan seharusnya dipertentangkan dan diperselisihkan menjadi sebuah permusuhan dan fanatisme madzhab. Karena perbedaan itu muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok ajaran islam yang semuanya mempunyai kebenaran relatif. Justru dengan adanya bermacam-macam madzhab dengan pendapat yang berbeda memungkinkan sesorang untuk beralih madzhab secara total atau dalam hal yang dipandang suatu kebutuhan baik dalam konteks ibadah maupun lainnya.
Sebagai orang awam tugas kita adalah bertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau yang dianggap terbaik dari pada yang lain, bahkan Imam Ghazali mengatakan suatu keharusan bagi orang awam bertaqlid sebagaimana ijma’ para shahabat.
Untuk menyikapi perbedaan tersebut, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, diantaranya tidak diperkenankan tatabu’u al-rukhsh, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda ke dalam persoalan tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat bagi dua madzhab tersebut.
Dalam menyikapi fenomena perbedaan atau ikhtilaf antar orang atau kelompok islam di lingungan kita yang sangat diperlukan adalah etika berikhtilaf, antara lain:
1. Memulai dengan husnudhdhon (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
2. Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
3. Tidak memaksakan kehendak bahwa pendapat yang paling benar, karena pendapat lain mempunyai kemungkinan benar yang seimbang.
4. Mengakui adanya perbedaan dalam furu’iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkan.
5. Tidak mengkafirkan orang yang sudah mengucapkan shahadatain
6. Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
7. Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah furu’iyah karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda dalam menafsirkan dalil-dalil tersebut.
9. Terbuka, arif, dan dewasa menyikapi perbedaan sebagai hal yang positif, bukan pertentangan dan permusuhan.
Dengan demikian, perbedaan itu sebenarnya indah selama bergerak menuju kebenaran, karena islam itu satu dalam keragaman. Dan kita dituntut untuk bersikap santun, arif, terbuka, dan dewasa dalam memandang dan memahami arti perbedaan dan selalu dapat memberikan hukum alternatif ketika seseorang menemui jalan buntu. Wallahu A’lamu.
*) Disampaikan dalam Diskusi Fiqhiyyah Dewan Asatidz (DEAS), Dep. Kesantrian,
PP. Ummul Quru As-Suyuti Plakpak Pamekasan, 04 Agustus 2006.
**) Pemateri adalah Sekretaris Cabang Lajnah Bahtsul Masail (LBM) NU Pamekasan Masa Khidmat 2006-2011
dan Khadim PP. Miftahul Ulum Bettet Pamekasan
Labels:
Makalah
Thanks for reading Kajian Fiqhiyyah. Please share...!
0 Comment for "Kajian Fiqhiyyah"